Tingkatkan Kompetensi Tenaga Teknis, Ditjen Badilag Rutin Gelar Bimbingan Teknis Secara Daring
Jumat, 3 Mei 2024, Bertempat di Badilag Command Center, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama menyelenggarakan kegiatan Bimbingan Teknis Peningkatan Kompetensi Tenaga Teknis di Lingkungan Peradilan Agama secara daring diikuti oleh seluruh Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama dengan mengangkat tema “Kekeliruan Penerapan Hukum Acara Sebagai Bentuk Ketidakadilan (Refleksi Hasil Pembacaan Berkas Kasasi/Peninjauan Kembali Januari-April 2024)”, menghadirkan narasumber Yang Mulia Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. dan Dr. M. Nur Syafiuddin, S.Ag., M.H. (Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI) sebagai moderator.
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, Drs. H. Muchlis, S.H., M.H. yang sedang dalam acara dinasnya di Pengadilan Tinggi Agama Pontianak menyampaikan sambutannya dengan menekankan tentang pentingnya kegiatan bimbingan teknis untuk menciptakan tenaga teknis yang andal dalam penyelesaian perkara. Beliau juga menegaskan keutamaan penerapan hukum acara dalam memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat pencari keadilan. ”Penerapan hukum acara adalah jembatan menuju keadilan, kekeliruan hakim dan aparatur dalam menerapkan hukum acara adalah bentuk dari ketidakadilan itu sendiri,” ungkap Beliau.
Pada saat penyampaian materi oleh YM. Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. dijelaskan bahwa keadilan dapat terwujud dengan menerapkan hukum materiil dan hukum formil, bagi hakim penguasaan hukum formil tidak kalah pentingnya dengan hukum materiil. ”Hukum formil kita terapkan ditengah-tengah persidangan, apabila hakim tidak menguasai dapat dilihat dan ditertawakan para pihak” jelas Yang Mulia. Selanjutnya YM. Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. menyampaikan temuan kasus pertama terkait perlakuan terhadap kuasa cacat formil dimana surat kuasa tergugat hanya menyebut nomor perkara, tidak menyebut secara jelas identitas para pihak berperkara, akan tetapi dalam persidangan tergugat hadir saat sidang pertama sampai jawab-menjawab dan pengadilan tingkat pertama tidak mempersoalkan surat kuasa tersebut serta mengabulkan gugatan namun pengadilan tingkat banding membatalkan putusan tingkat pertama dan mengadili sendiri dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima dengan pertimbangan surat kuasa tergugat dinilai sebagai surat kuasa yang cacat formil karena tidak menyebut pihak berperkara, jenis perkara, dan seterusnya. Pada temuan kasus kedua terkait mediasi beliau menyampaikan kasus posisi dimana mediasi pertama antara penggugat dan tergugat telah berhasil tercapai kesepakatan. Sebelum menjatuhkan putusan, ada intervenient masuk dan dikabulkan untuk masuk sebagai intervenient lantas dilakukan mediasi kedua antara para pihak dengan intervenient dan mediasi itu tidak berhasil. Pada kasus tersebut pengadilan tingkat pertama Memutus perkara a quo dengan mengabulkan permohonan penggugat dan tergugat yang meminta akta van dading atas dasar hasil mediasi pertama. Selanjutnya pengadilan tingkat banding dengan pertimbangan kesepakatan mediasi itu mengikat para pihak, sedangkan intervenient bukan pihak dalam perkara a quo maka menguatkan putusan tingkat pertama. Berlanjut pada temuan ketiga, Yang Mulia menyampaikan tentang struktur amar putusan ditemukan dalam berkas perkara kasasi bahwa pengadilan tingkat pertama menjatuhkan putusan dengan struktur amar:
1. Menolak gugatan sebagian
2. Mengabulkan gugatan sebagian
3. Menyatakan tidak diterima selebihnya
sedangkan dalam tingkat banding, putusan tingkat pertama tersebut dibatalkan dan pengadilan tingkat banding mengadili sendiri gugatan penggugat tidak dapat diterima dengan pertimbangan putusan tidak jelas.
Temuan keempat, yakni terkait perlawanan eksekusi dimana pada kasus posisi pertama, perkara partij/derden verset , seringkali judex facti ragu apakah perlawanan itu dikabulkan atau ditolak dengan pertimbangan yang tidak jelas dan kasus posisi kedua ketika hakim tingkat banding membatalkan putusan tingkat pertama dan menyatakan perlawanan tidak dapat diterima dengan pertimbangan partij verzet yang diajukan oleh termohon eksekusi tidak menyebut batas-batas dan luas objek eksekusi.
Seluruh temuan kasus tersebut menjadi bahan diskusi pada kegiatan bimtek dan peserta bimtek di arahkan agar dapat berpartisipasi aktif berdiskusi, menggali, dan mengeluarkan pendapat terkait permasalahan diatas.
Diakhir kegiatan bimbingan teknis, Dirbinganis, Dr. H. Candra Boy Seroza, S.Ag., M.Ag. menyampaikan bahwa Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terus menerus memotivasi Pengadilan Tingkat Banding agar sering melakukan kegiatan diskusi-diskusi hukum seperti ini sehingga nantinya dapat menghasilkan kualitas produk pengadilan yang memberikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. (H2o)